Senin, 19 Januari 2009

bntn6 na c0zl3t


CInT@Q SUdAH Lam@ TumBuH @Ta$ NamAny@, . , ,
SeKI@N H@ri,;;;;;;;;;
sEki@n wAktu. , , ,"""""""""""""
nAM@nyA t3TAP bERd3gUP BeR$aM@JanTUng Y@ng BErdeTAK;;;;.,,,,,
MeNGing@tKannYa m3mBaw@q mEL@MbuNG TInggI k'@NGkas@..
TaU' KaH K@u?????....
Ap@INi yAng diSebUT C i N t @.., , ,??????????
Atauk@h hANy@ $3bUah ang@N KC0NG yang TerukIR aTas n@MA CINT@????

Terusane.....

Kamis, 09 Oktober 2008




Terusane.....

Kamis, 18 September 2008

Respect for Ronaldo on United return

The line between confidence and arrogance can be a fine one. Cristiano Ronaldo can seem it cross it as often as he centres a football from the flanks, but his sense of self-importance can be justified. 'When I play the fans will love me again,' he had said. He was right.
Cristiano Ronaldo

MikeEgerton/Empics

Cristiano Ronaldo fires in a shot on goal
The public flirtation with Real Madrid may have been demeaning for a club of United's stature. There might have been a hint of realpolitik from the United support, applauding Ronaldo more as a player than as a personality. And it could have been an indication of the desperate requirement to lift this game from mediocrity.

But he played, and they loved him. This was less narcissism than realism. Some granted him a standing ovation simply for removing his training top. The vast majority did, along with the loudest cheer of the evening, when he replaced Ji-sung Park. It may have been his fellow replacement, Anderson, who was saluted from the stands in a popular chant thereafter, but while Ronaldo wasn't serenaded, he was appreciated.'I think it's important to Cristiano,' said Sir Alex Ferguson. 'He now realises what a great club he's at and how loyal there are to him. I think that he knows the great supporters have always been behind him. He's deserved that. He's given us great moments.'

As he knows, half an hour of Ronaldo, even on his first appearance for 12 weeks, is rather more captivating than an hour of the alternatives. Tonight illustrated that. Ronaldo couldn't quite transform a stalemate into a success, but he came dangerously close to being the alchemist. He had been on the pitch for six minutes when he initiated the sort of swift counter-attack that was all too familiar last season. Advancing at pace, he picked out Wayne Rooney who squared the ball for Carlos Tevez. He beat goalkeeper Diego Lopez, but Gonzalo Rodriguez, in an outstanding piece of defending, retreated to clear from his compatriot on the goal-line.Ronaldo was integral, too, when United beat Lopez for a second occasion. He delivered a curling cross from the right wing and Jonny Evans plunged forward to head against the back post. The 42-goal man almost opened his account for the current campaign with a header. 'Yes, he did cause us one or two problems,' said the Villarreal coach Manuel Pellegrini. 'There were two things. One, he is a great player and two, he had fresh legs when other players were getting tired.'

Yet Villarreal actually came closer, Guille Franco supplying a deft backheel to Angel Lopez's cross to clip the inside of the woodwork at the other end.

As United's stuttering start to the season continued, this made it a solitary win  penalty shootouts excluded  from six games. An unprofitable opening month hardly harmed them 12 months ago, of course, and it may not again, yet there was a lack of fluency and flair for too long. Their own choices contributed. Ferguson made six changes in a selection that clearly indicated that Sunday's game at Chelsea is the priority. o borrow a word that is rather in vogue, with was sub-prime United, a game when squad players threatened to outnumber the automatic choices. It would have smacked of complacency, except that Villarreal appeared to have adopted the same policy. Their sprinkling of Euro 2008 winners were divided between the pitch and the bench, though Santi Cazorla seemed fit enough to play the second-half. A seven-a-side game between the two benches would have been well worth watching, but patches of the first half between the chosen teams were not. The non-aggression pact between Ferguson and Pellegrini lasted an hour before Franco struck the post and Ronaldo entered proceedings.

Nevertheless, demoting Anderson to the bench, plus Nemanja Vidic and Wes Brown, was a debateable move. Weakened teams proved themselves capable of progressing in both the Champions League and the Premier League last season. Then, however, Ronaldo tended to be the insurance policy, the man who bailed them out on a regular basis and, at times, rendered the identity of his 10 team-mates of secondary importance.

Without Ronaldo, the first hour provided soporific fare. Park claimed a penalty, but a midfield combination of the South Korean, Owen Hargreaves, Darren Fletcher and Nani arguably represented the reserve quartet, with the former duo short of sharpness on their first starts of the season. This was Manchester United lite, the version that should be saved for those lucrative but irrelevant tours. Yet after a Champions League record of 12 successive home wins, they were halted by the last team to escape defeat here in Europe. In some respects, Villarreal are the antithesis of United. With the capacity of Old Trafford around 50% larger than the population of the Spanish town, they have bucked the trend for the biggest and wealthiest to dominate.

It was a night for the underdogs. When Ronaldo is around, there are few of them.

MAN OF THE MATCH: Gonzalo Rodriguez  Partly for the goal-line clearance and partly for an excellent defensive display in which Joan Capdevila also caught the eye.

MANCHESTER UNITED VERDICT: They head to Chelsea as underdogs. If Evans was rarely tested as Vidic's deputy, the midfield was a disappointment. Hargreaves is not yet at his fittest and Anderson provided much-needed spark upon his arrival. That said, Ronaldo was the only real bonus. It is rare United are lacklustre in three successive games, but they have been.

VILLARREAL VERDICT: It may not have been the most ambitious performance, but it was certainly an accomplished one. While United had the majority of the chances, they merited their draw. Had the excellent Cazorla started, they may have taken more than one point.

Terusane.....

Minggu, 07 September 2008

jame cuntix


Terusane.....

JONRU AND FRIENDS

Jonru & Friends

Rakyat Negeri Langit sedang resah. Namun bukan karena mewabahnya sejenis penyakit menular, atau karena terjadi perang saudara. Mereka resah karena situasi politik di negeri mereka sangat kacau. Raja bertindak sewenang-wenang. Kebebasan berpendapat dihambat. Siapa saja yang mengkritik Kerajaan ditangkap. Berbagai forum seminar atau pementasan teater tidak boleh diselenggarakan, karena dikhawatirkan dapat merongrong langgengnya kekuasaan raja. Pokoknya, kebebasan rakyat benar-benar mendapat hambatan.

Kondisi ini sangat menggelisahkan Nobita. Si Cengeng yang suka usil ini telah banyak berpikir dan berupaya agar segala jenis pencekalan dan pelarangan hilang dari Negeri Langit. Tetapi ia selalu gagal, sehingga alasannya untuk menangis pun semakin banyak.

"Huh, aku sebel... sebel!" teriaknya suatu hari sambil menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil yang permennya direbut. "Aku tak pernah berhasil menghilangkan pencekalan. Padahal David Coperfield bisa menghilangkan Patung Liberty. Sebel!"

"Kamu sih, terlalu cepat menyerah," seru Doraemon, sahabat Nobita paling setia yang suka mengeluarkan benda-benda aneh dari kantong ajaibnya. "Usaha, dong. Jangan bisanya cuma nangis!"

"Aku sudah berusaha keras!" teriak Nobita. "Aku sudah berdialog dengan Kerajaan, demonstrasi, menulis di media massa. Tapi semuanya nihil, tak pernah berhasil. Kerajaan tak pernah mau mendengarkan aspirasi rakyat!"

"Memang, penguasa di mana-mana suka begitu," Doraemon tersenyum geli. "Mereka kan ingin kekuasaannya langgeng. Kalau kamu mengkritik, itu mereka anggap sebagai penyakit alias ancaman bagi kekuasaan mereka. Ngerti enggak?"

"Ngerti sih ngerti. Tapi kita mengkritik itu kan untuk kebaikan bersama juga. Agar masyarakat kita enggak resah lagi. Agar tercipta keadilan."

"Memang tujuan kamu baik. Tapi kerajaan menafsirkannya lain. Di situlah repotnya."

"Wah, sulit dong," Nobita mengeluh dan menatap Doraemon penuh harap. "Lalu gimana nih, penyelesaian masalah ini?"

"Kok bertanya padaku, sih? Aku kan bukan politikus!"

"Tapi kamu kan bisa menciptakan benda yang dapat memecahkan masalah ini. Ayo dong, Doraemon. Bantu aku. Entar kamu kubuatkan susu coklat panas, deh."

"Huh, kalau ada maunya, kamu selalu merayuku," Doraemon jadi sewot.

Tapi Nobita tak peduli. Seperti biasa, ia terus merayu, hingga akhirnya Doraemon tak tahan juga.

"Baiklah," ia merogoh kantong ajaibnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana sambil berteriak, "KACAMATA TIGA DIMENSI!"

"Kok kacamata tiga dimensi?" gantian Nobita yang sewot. "Itu kan bukan benda ajaib. Masyarakat Negeri Bumi malah sudah biasa memakainya untuk menonton sinetron tiga dimensi. Jangan mempermainkan aku, ah!"

"Eh, dengar dulu. Kacamata ini berbeda dengan kacamata tiga dimensi bikinan Negeri Bumi. Ini dipakai bukan untuk sinetron tiga dimensi, tapi untuk menonton seminar dan pertunjukan teater, membaca karya sastra, dan mendengarkan pembicaraan tokoh yang sering dicekal. Konsumennya pun bukan pemirsa TV swasta, melainkan para intel Kerajaan yang hobi memata-matai. Dan tujuannya, agar antara Kerajaan dan rakyat yang mengkritiknya enggak ada lagi kesalahpahaman atau beda penafsiran. Mengerti?"

"Ah, yang benar?" Nobita masih tak percaya. "Lalu cara kerjanya bagaimana?"

Dengan panjang lebar Doraemon menerangkan. Nobita manggut-manggut sembari memikirkan sebuah keusilan yang dapat dilakukannya dengan alat itu.

Bisa enggak ya, dipakai buat mengintip orang mandi?

* * *

Benar saja. Kacamata tiga dimensi tersebut membawa perubahan yang sangat spektakuler bagi perkembangan fenomena pencekalan di Negeri Langit. Seorang Intel Kerajaan, setelah memakai benda tersebut untuk memata-matai tiga acara seminar dan satu pementasan teater, tampil di layar televisi. Ia diwawancarai oleh reporter televisi untuk acara Seputar Negeri Langit.

"Luar biasa. Sejak memakai kacamata tiga dimensi, saya jadi paham bahwa kritik-kritik yang disampaikan lewat seminar maupun pementasan teater merupakan salah satu bentuk partisipasi rakyat untuk mewujudkan keadilan di negeri ini. Saya jadi paham sekali dengan tujuan mereka melakukan itu. Saya rasa, kacamata ini mungkin mengandung semacam zat yang membuat kita bisa melihat segala persoalan tidak hanya sebagai benar dan salah alias dua dimensi, melainkan sebagai persoalan yang multi dimensi."

Mendengar hasil wawancara itu, Nobita bersorak kegirangan. Terlebih karena ia juga membaca koran yang melaporkan perilaku para intel Kerajaan belakangan ini yang dinilai sangat aneh.

"Para intel Kerajaan," tulis sebuah harian terkenal, "yang biasanya suka memberi laporan kepada Kerajaan tentang tindakan-tindakan reaksioner dari golongan masyarakat tertentu yang mengganggu stabilitas nasional Negeri Langit, berbalik membela kaum reaksioner." Harian itu juga melaporkan bahwa peristiwa pencekalan dan pelarangan di Negeri Langit semakin berkurang dalam sebulan terakhir ini.

"Hore... kita berhasil!" Nobita memeluk Doraemon dengan sukacita. "Terima kasih ya, Doraemon. Kamu pintar, deh."

Doraemon tertawa bangga. Kedua sahabat itu pun merayakan kemenangan sambil berdoa agar situasi politik di Negeri Langit semakin baik.

Namun sayang, doa itu tidak terkabul, sehingga kegembiraan Nobita dan Doraemon tidak berumur panjang. Dua bulan setelah kacamata ajaib itu beredar di pasaran, keluar undang-undang dari Kerajaan yang menyatakan, "Kacamata tiga dimensi merupakan benda terlarang, dan karena itu harus segera dimusnahkan dari seluruh Negeri Langit."

Duh, Nobita kembali punya alasan untuk menangis.


Semarang, 18 September 1995

Cerpen ini sudah dimuat di MANUNGGAL (Koran Kampus Universitas Diponegoro) edisi VI Tahun XIV, September 1995

Sumber foto: www.berezin.com

Mohon maaf sebesar-besarnya buat pemegang hak cipta Doraemon :)

==============

Keterangan:
Tahun 1995, saya pernah menulis cerpen yang mengambil tokoh-tokoh dari film kartun Doraemon. Ini adalah cerpen yang amat bernuansa Orde Baru, karena mengungkap masalah pencekalan dan ketidakbebasan berpendapat di masa pemerintahan Soeharto. Kebetulan, saat itu di stasiun televisi RCTI sedang ramai-ramainya pemutaran sinetron tiga dimensi, produksi Multivision Plus (satu di antaranya adalah sinetron "Lika Liku Laki Laki" yang dibintangi Ria Irawan dan Tiga Sekawan). Dari kondisi-kondisi di atas, saya mencoba menulis sebuah cerpen, dan jadilah cerita di atas.

Kenapa saya tergerak untuk menulis cerpen yang unik seperti ini? Terus terang, saya mendapat ide ini setelah membaca cerpen "Paman Gober" karya Seno Gumira Ajidarma (dimuat di Republika. Cerpen ini dapat ditemukan pada buku "Soeharto dalam Cerpen Indonesia", penerbit Bentang). Cerpen yang sangat bagus ini mengidentikkan Soeharto sebagai Paman Gober. Saya pikir, kenapa saya juga tidak melakukan hal yang sama?

Tapi anehnya, banyak teman saya ketika itu yang mengkritik. Mereka sepertinya merasa aneh melihat ada tokoh kartun anak-anak pada sebuah karya sastra. Saya tidak tahu, apakah saat itu mereka sudah membaca cerpen "Paman Gober". Hehehehe....


Jonru

Tags: cerpenku, karyaku_fiksi
Prev: Surat Terbuka untuk Pak Nurmahmudi Ismail
Next: Tahun baru mana yang bersifat universal?

Terusane.....

ci kun kun gi2t

Blogger Developers Network: Blogger JavaScript Client Library Released

Terusane.....